Minggu, 17 Maret 2013

"Mirror mirror on the wall, who’s the prettiest of them tall?"



Wanita adalah makhluk yang sangat beruntung karena diciptakan dengan fisiologi jauh lebih indah dari pria. Wanita juga diberikan hak untuk terus semakin memperindah diri di sepanjang hidupnya. Tak heran seluruh pria di dunia ini sering bertekuk lutut di hadapan keindahan wanita. Bukan pria saja, seasma wanita pun terbiasa mengagumi keindahan wanita lainnya. Bahkan menurut penelitian, bayi cenderung menatap lebih lama pada wajah yang cantik.

Kecantikan seseorang bisa membawa kebahagiaan karena semakin cantik seorang wanita, semakin dia mendapat banyak akses menuju hal-hal yagn memberi kebahagiaan. Misalnya secara pergaulan sosial, mereka pasti banyak dikagumi orang sehingga memiliki banyak teman. Secara karir, mereka juga pasti tidak kesulitan menarik hati orang lewat kecantikannya, apalagi ditambah kalau ia jga pintar.

Jadi dengan seluruh keuntungan di atas, wanita cantik itu sudah pasti merasa bahagia, ‘kan? Atau setidaknya lebih bahagia dibandingkan wanita yang kurang cantik? Jawabannya, tidak! Dalam buku Psychology Applied To Modern Life, “Given that physical attractiveness is an important resource in Western society, we might expect attractive people to be happier than others, but the available data indicate that the correlation between attractiveness and happiness is negligible.” Saya mencari di kamus negligible artinya ‘tidak berarti’, ‘tidak signifikan’, atau ‘sedemikian kecil sehingga tidak perlu diperhitungkan.’ Bisa dibilang, malah efeknya berbanding terbalik atau mereka sulit untuk merasakan kebahagiaan yang stabil. Berikut sepuluh penjelasannya:

1. Kecantikan itu kompetitif
Kehadiran wanita cantik lain akan selalu membuat seorang wanita merasa tidak cukup cantik, walaupun ia tidak akan mengakuinya. Wanita memang cenderung membandingkan dirinya dengan wanita lain, lebih-lebih wanita cantik. Tak heran mereka merasa insecure. Ketika bercermin, mereka brharap melihat refleksi diri yang dua kali lebih cantik daripada diri sebenarnya dan tiga kali lebih cantik daripada wanita tercantik lainnya. Inilah yang memicu ucapan terkenal yang sangat kompetitif itu, “Mirror mirror on the wall, who’s the prettiest of them tall?“

2. Kecantikan itu adiktif
Lebih tepatnya, menarik perhatian dan menjadi pusat perhatian itu adiktif. Sebagai manusia, kita selalu butuh diperhatikan. Sekali saja kita merasakan sensasi menjadi pusat perhatian, maka kita selalu menginginkannya dan merasa tidak dapat hidup tanpanya.

3. Kecantikan itu manipulasi bisnis
Wanita terus dimanipulasi oleh media dan industri kecantikan untuk mempercantik dirinya tanpa pernah berhenti. Mereka hanya bisa bahagia sejenak setelah mengkonsumsi produk tertentu, lalu merasa kurang bahagia lagi ketika melihat seorang bintang iklan yang lebih muda dan lebih kurus. Majalah wanita penuh dengan artikel yang mencuci otak mereka bahwa dengan menurunkan berat badan mereka bisa mendapat seluruh kemudahan hidup: pernikahan, seks, dan karir. Jadi, wanita cantik bisa lebih bahagia jika mereka berhenti melihat iklan di majalah dan TV.

4. Kecantikan itu sarat ide utopian
Utopian bisa diartikan ‘khayalan’ atau ‘menarik tapi tidak dapat diterapkan’. Contohnya, Anda pasti tahu boneka Barbie? Nah, para periset medis sudah meneliti bahwa proporsi tubuh Barbie ternyata sangat berbahaya dilakukan di dunia nyata. Punggungnya terlalu lemah untuk menyokong berat bagian tubuh atas dan tubuhnya terlalu sempit sehingga bisa merusak hati, ginjal, dan saluran pencernaan lainnya. Wanita yang benar-benar berbentuk seperti itu dipastikan mengalami penyakit lambung yang kronis dan cenderung meninggal karena malnutrisi.

5. Kecantikan itu topeng yang menyulitkan
“Ah sudahlah, itu bukan masalah… kamu kan cantik, nggak perlu repot mikirin itu.” Jadi daripada curhat, lebih baik mereka menyimpan dan menangisi sendiri. Itu sebabnya banyak wanita cantik yang sering berkesan sok positive-thinking, sehingga kita juga semakin terbius bahwa hidup mereka enak-enak saja padahal yang dirasakan eneg.

6. Kecantikan itu obsesi metropolitan
Dalam penelitian Victoria Plaut, Does Attractiveness Buy Happiness?, ia menemukan bahwa jawabannya ya hanya jika sang wanita tinggal di daerah perkotaan. Wanita cantik yang tinggal di pedesaan tiadk akan begitu merasakan perbedaan kebahagiaan atau kenikmatan tersebut. Saya sudah sering melihat mahasiswi dari daerah yang pindah ke kuliah ke Jakarta, kecantikannya meningkat seiring tingkat semesternya. Kecantikan adalah kebutuhan baru yang dikonstruksikan (baca: dipaksakan) oleh masyarakat modern.

7. Kecantikan itu membingungkan
Semua orang menyarankan jadi diri sendiri apa adanya. Bahkan semua media televisi dan majalah juga menyuarakan seperti itu. Anehnya, kita juga dibombardir dengan produk kosmetika yang membuat diri Anda lebih indah secara alamiah, “Get that natural beauty with my product !” Alamiah tapi kok pakai produk? Kaco.

8. Kecantikan itu temporer
Tidak peduli berasal dari kaum mana, wanita cantik selalu dibayang-bayangi kecemasan abadi, “Apa yang akan terjadi seandainya saya tidak cantik lagi? Apakah mereka masih mau jadi teman saya? Apakah kekasih saya tetap mencintai saya?” Ini adalah kekhawatiran yang tidak menghantui para wanita yang kurang diberkahi dengan kecantikan.

Jadi jika Anda bersahabat dengan wanita cantik, berhentilah terkagum-kagum ataupun memujanya. Karena realitanya adalah mereka tidak sebahagia itu! Mereka justru ‘tersiksa’ karena kecantikannya itu, sekalipun mereka akan menyangkal fakta itu mati-matian. Masih ada banyak poin ketidakbahagiaan lainnya yang tidak bisa saya jabarkan di sini karena bisa dianggap politically incorrect oleh para wanita.

What is beautiful is good,” kata Plato. “Beauty is truth, truth beauty,” tulis John Keats. Anatole France menyuarakan, “Beauty is more profound than truth itself.” Bagi saya, “Beauty is an ironic tragedy we all love to see.”


 *updaterus

Tidak ada komentar: